-

January 29, 2010

Pesona Lokalitas Melayu Soeman Hs

Berikut ini adlah sebuah tulisan karya Fakhrunnas MA Jabbar*, seorang sastrawan besar Melayu Riau. Dalam tulisan ini dia akan membahas seperti apa Soeman HS dengan keMelayuannya. Sama kita kethui HS itu adalah nama marga, yakni Hasibuan, otomtis Soeman HS adalh keturunan Suku Batak. Lalu bagaimana Soeman HS dengan kemelayuannya? Siapakah dia? Mengapa namanya sebagai nama Pustaka Wisayah Daerah Riau? Silakan simak tulisan Fakhrunnas MA Jabbar berikut ini, Pesona Lokalitas Melayu Soeman Hs:



Makna Lokalitas Melayu

SETIAP daerah memiliki nilai-nilai lokalitas sebagai karakteristik budaya setempat. Lokalitas Melayu dapat dipandang sebagai sebuah ranah yang memperkaya pluralitas budaya di pelataran dunia. Kegamangan daya sergam globalises! menyebabkan tolehan banyak orang pada posisi dan makna lokalitas Melayu itu terasa ciut dan berada jauh di perantauan global. Lokalitas yang masih tetap terpelihara dalam kehidupan puak-puak dan ranah Melayu berupa nilai-nilai sosial-budaya, ajaran kebijakan dan kearifan dan tunjuk-ajar yang khas Melayu terus menjadi obyek kajian. Selain itu, lokalitas Melayu itu sendiri ada yang masih terselip di lembaran ‘kitab-kitab kuning’ dalam bentangan sejarah. Melayu yang panjang. Tapi secara umum, nilai-nilai lokalitas itu masih mengalir di air kehidupan puak orang Melayu di jantung jasirah Asia Tenggara yang dulunya pernah merebak jauh hingga kawasan Madagaskar dan Afrika Selatan.

Keteguhan sejarah keberadaan orang-orang Melayu di kawasan Asia Tenggara ini boleh disimpai dari ranah Indonesia, khususnya Riau. Budayawan UU Hamidy sejak tiga dekade terakhir selalu mengusung pemikiran yang diramu dari kajian-kajian sejarah Melayu yang panjang bahwa Riau adalah Pusat Kebudayaan dan Bahasa Melayu itu. Oleh sebab itu, bisa dipahami ketika Pemerintah Riau menabalkan dalam Visi Riau 2020 untuk menjadikan “Provinsi Riau sebagai Pusat Perkeonomian dan Pusat Kebudayaan Melayu di Kawasan Asia Tenggara”.

Orang-orang Melayu di Indonesia boleh jadi kini hanya berwujud sekelompok kecil orang yang mendiami kawasan pesisir Sumatera (Riau, Deli, Jambi, Palembang) dan Kalimantan (Pontianak, Tanjung Pura). Meskipun sesungguhnya ranah puak Melayu itu tersebar luas hingga di Semenanjung Malaya (Malaysia dan Singapura) hingga Patani (Thailand), Moro (Filipina), kawasan Mindanao (Filipina Selatan}, Madagaskar dan Afrika Selatan. Semua wilayah budaya yang didiami orang-orang Melayu itu boleh disebut Rumpun Melayu. Pengakuan Melayu itu pun berkait erat dengan nilai budaya dan sejarah yang panjang.

Dalam pluralitas kehidupan berbangsa dan bernegara, Orang Melayu menjadi kelompok yang diisolasi secara sosial-budaya melalui konstitusi atau pengakuan sosiologis. Konstitusi Malaysia menetapkan seorang Melayu dicirikan dengan penganut agama Islam, berbicara dalam bahasa Melayu dan mematuhi adat-istiadat Melayu.

Bila lokalitas Melayu itu menjelma dalam remah-remah nilai budaya, karakter dan pola pikir amat sulit untuk meneroka keberadaan dan kekuatannya dalam pergulatan global yang mengalir deras. Tradisi Melayu yang pernah kukuh-kuat dalam kehidupan masyarakatnya di masa silam, kini terus tergerus dalam perputaran arus masa.

Para pengarang Riau secara terpisah melukiskan bagaimana lokalitas Melayu itu semakin menciut karena sejumlah tradisi dan adat budayanya terutama di pusat-pusat pertumbuhan hanya muncul dalam simbol-simbol sosial dan upacara (ritual). Kondisi ini niscaya tak banyak berbeda dengan di daerah-daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan khasanah budaya Melayu itu seperti Medan, Pontianak, Palembang, Bengkulu, Jambi, DKI Jakarta dan, beberapa daerah lainnya. Sebutlah tradisi pantun, pakaian Melayu cekak musang, tanjak dan ikat tenun dengan selipan keris, selembayung (hiasan atap rumah yang berukiran Melayu) tak lagi ditemukan merata di tiap rumah dan keluarga. Hal ini tentu sejalan dengan meredupnya tradisi kesultanan/kerajaan dan kebangsawanan di tanah air di tengah kobaran semangat nasionalsme.

Akibatnya, lokalitas Melayu di Indonesia terasa lebih merdu dalam nyanyian dan kata-kata pujangga yang melukiskan kenestapaan dan kelirihan nasib orang-orang Melayu yang terus tergulung dalam ombak perubahan zaman yang tak terbendung.

Lokalitas Melayu di Kawasan Serumpun

Sebaliknya, lokalitas Melayu di negeri jiran Malaysia dan Brunei Darusalam terasa lebih perkasa karena dimungkinkan kebijakan politik pemerintah yang amat berpihak pada kejayaan bumiputera sehingga bisa lebih bernapas sempurna.

Namun, nasib lokalitas Melayu Singapura lebih tersudut lagi baik secara kuantitas maupun kualitas yang menempatkan puak Melayu dalam sebuah bilik kecil di tengah rumah besar Singapura yang mengagungkan universalisme.

Namun, kepiawaian Malaysia dalam mengusung isu peraban Melayu telah menggiring negeri jiran ini untuk mengukuhkan diri sebagai pusat informasi kebudayaan Melayu di Asia. Website yang berisi pusat data dan inventarisasi kekayaan khasanah Melayu yang ditaja oleh pusat-pusat pengkajian Kebudayaan Melayu di Universitas Malaya dan Universitas Kebangsaan Melayu (UKM) memperlihatkan kecenderungan hegemoni itu.

Setidak-tidaknya hal ini dapat mengobat dukalara para peminat masalah budaya Melayu yang tak bisa berbuat banyak ketika naskah-naskah kuno dan nilai-nilai sejarah yang berharga justru banyak tersimpan di rak-rak perpustakaan dan piring cakram di Universiti Leiden, Belanda dan sejumlah negara Eropa lainnya seperti Inggris dan Prancis. Ini jelas masih mengalahkan keberadaan Pusat-pusat Kebudayaan Melayu yang ada di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia seperti Universitas Riau yang pernah menjadi Budaya Melayu sebagai Pola Ilmiah Pokok atau Universitas Indonesia yang digesa oleh pengamat sastra dan budaya Melayu, Maman S Mahayana, serta Universitas Hasanuddin, Makassar yang pernah berjaya dengan Proyek La Galigo-nya.

Lokalitas Budaya dalam Sastra Indonesia

Lokalitas dalam karya sastra pada hakikatnya refleksi keberadaan pengarang cerita yang bersumber dari kekayaan nilai lokal (warna lokal) yang berlaku dalam masyarakat pendukung nilai-nilai sosial budaya itu. Dalam konteks ke-Indonesiaan, lokalitas dapat disebut sebagai warna lokal atau subkultur. Sejumlah pengarang Indonesia telah memperkaya khasanah sastra Indonesia melalui lkalitas daerah masing-masing. Sebutlah dalam lokalitas Jawa telah memunculkan nama penyair Linus Suryadi AG melalui Pengakuan Pariyem, Ahmad Tohari (Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk), Danarto (Adam Ma’rifat, yang lebih bersifat Sufisme Jawa) dan masih banyak lagi. Lokalitas Minangkabau dapat dirasakan dalam karya-karya AA Navis, HAMKA, Hamid Jabbar, Harris Effendi Thahar, Wisran Hadi, Gust tf, Yusrizal KW, Iyut Fitra dan lain-lain.

Sejumlah pengarang Riau secara tunak terus mempertahankan nilai-nilai lokalitas Melayu itu seperti Raja Ali Haji, Soeman Hs, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, BM Syamsuddin, Taufik Ikram Jamil, penulis sendiri (Fakhrunnas MA Jabbar, red), Marhalim Zaini dan lain-lain. Nilai-nilai lokalitas Melayu itu memiliki kadar yang berbeda-beda bagi setiap pengarang karena sangat tergantung pada pengalaman empirik (situasi lokal dan situasional yang membentuknya dalam jangka panjang). Tak jarang, nilai-nilai lokalitas Melayu itu hanya berupa tempelan (kolase) yang tidak bersebati di dalam ruh cerita sehingga yang muncul ke permukaan hanyalah simbol-simbol budaya Melayu, kata-kata arkhais, istilah atau sebutan yang khas Melayu. Namun, secara umum, lokalitas Melayu itu menjelma dalam karakter para tokoh cerita sebagai jelmaan kehidupan sehari-hari yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Melayu.

Pesona Lokalitas Melayu Soeman Hs

Perwujudan nilai-nilai Iokalitas Melayu dalam karya-karya Soeman Hs dapat ditemukan dalam semua roman dan kumpulan cerpennya yang ditulis dalam rentang masa produktifnya tahun 1925-1945 (sekitar 20 tahun saja). Hal ini ditandai sejak awal Soeman berkarya yang diikuti dengan terbitkan sejumlah roman hingga penerbitan kumpulan cerpen yang terakhir. Secara runtut, karya-karya Soeman tersebut adalah: Kasih Tak Terlerai (1930), Percobaan Setia (1932), Mencari Pencuri Anak Perawan (1932), Tebusan Darah (1939) dan Kawan Bergelut (1941).

Tentu saja, jelmaan lokalitas Melayu dalam karya-karya Soeman ini sangat berbeda dengan karya sastra lama berupa cerita rakyat atau epik Melayu yang bertapak di bumi Melayu seperti Hikayat Anggun Cik Tunggal, Si Gembang atau Teluk Bidung Kota Lama, Cerita Awang Lutung, Hikayat Terung Pipit Hikayat Seri Rama, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad Hanaflah, maupun sastra sejarah seperti Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Patani dan Tuhfat Al-Nafis dan masih banyak lagi.

Lokalitas Melayu karya-karya Soeman dalam pandangan Sutan Takdir alisyahbana (STA) lebih terfokus pada pemakaian bahasa Melayu yang pada masa itu amat jarang digunakan para pengarang Indonesia. Menurut STA, “...tentang pilihan katanya ia tiada berapa jauh meninggalkan bahasa Melayu yang lama berhubung dengan pergaulannya di Sumatera Timur dan didikannya sebagai guru, tetapi tentang gaya bahasanya..” Selanjutnya STA mengatakan, dalam tangan Soeman bahasa Melayu lama yang telah kaku dan beku oleh karena telah tetap susunan dan acuannya, menjadi cair kembali, lemas mengalir berliku-liku, ringan beriak beralun-alun”.

Prof Tabrani Rab mengatakan, membaca karya-karya Soeman Hs jelaslah sebagai penerusan warisan prosa klasik Melayu, merupakan roman yang realistik, memberikan keindahan tari dan permainan kata sebagai hasil karya romantik. Jelaslah karya ini merupakan karya yang lebih bertapak di bumi dan bukan karya yang menadah dari langit sebagai simbol seni untuk seni dengan absurditas dan kontemporer sebagai simbol.

Sementara budayawan UU Hamidy cenderung melihat lokalitas Melayu Soeman Hs melalui nilai-nilai estetika Melayu yang khas. Hampir seluruh karya Soeman, telah menampilkan estetika Melayu yang paling dominan, yaitu unsur teladan dan pengajaran yang benar. Satu di antaranya yang amat cemerlang ialah Tebusan Darah. Dalam roman ini Soeman telah membendangkan bagaimana unsur teladan dan pengajaran yang benar itu. Manusia yang baik satu di antaranya ialah manusia yang mengenal budi. Manusia yang tidak mengenal membalas budi layaklah dilemparkan ke dalam neraka.

Tidak demikian halnya dengan roman Soeman dalam Tebusan Darah. Soeman memang cukup menguasai latar belakang sistem nilai dan sistem sosial yang dianut oleh tokoh-tokohnya. Sir Djoon (Sir John) sebagai keturunan Eropa dengan isterinya wanita Cina-Singapura tentu sebenarnya mempunyai perbedaan dalam kondisi sosial budaya —bahkan agama— dengan Amin yang menjadi keraninya, seorang budak Malayu yang putus sekolah. Tetapi meskipun demikian, karena Soeman hendak memberikan teladan dan pengajaran yang benar, pengarang yang bersemangat Melayu ini telah membuat jalinan ceritanya begitu rupa, sehingga terbentanglah suatu kisah hidup antara dua belahan etnis yang amat serasi dan saling punya pengertian.

Ketunakan Soeman terhadap nilai-nilai lokalitas Melayu diperlihatkannya dengan penempatan setting cerita di tanah Melayu sendiri. Locus cerita Soeman memang berkisar di kawasan yang memegang teguh nilai-nilai adat budaya Melayu seperti Bengkalis, Singapura, Siak. Begitu pula karakter tokoh dalam ceritanya benar-benar menampilkan sosok seorang Melayu seperti terlihat pada tokoh Amin yang budak Melayu.

Begitu pula tokoh-tokoh yang dimunculkan Soeman dalam kumpulan cerpen Kawan Bergelut seperti Cik Mat, Dang Zainab, isteri Haji Saleh, anaknya Yam, seorang haji baru, Kari Bungsu, Orang Keling pemilik kedai, Malim Bungsu, isterinya, Pak Tua bergobek, Menteri Cacar, Aminah, Lebai Saleh atau Bandul, Haji Malik atau Haji Balik, Cik Dang, Si Tambi, Si Pengkar, Tambi Hanif, Wan Saleh dan isterinya benar-benar kaya dengan nilai lokalitas Melayu. Kalau pun Soeman memunculkan nama samaran Sir Djoon dalam romannya, hal itu semata-mata untuk menimbulkan efek asing dalam proses penyamaran.

Lokalitas pada Estetika Melayu

STA membuat kesimpulan, “Soeman tak dapat disamai oleh pengarang prosa modern yang mana sama sekalipun”. Selanjutnya, UU Hamidy menyatakan sebenarnya letak kelebihan Soeman bersandar kepada unsur-unsur estetik Melayu dan Islam yang telah diolahnya begitu baik dalam karya-karyanya, yang memang belum tentu dapat ditandingi oleh orang lain.

Kekentalan lokalitas Melayu dapat dirasakan dalam alunan kalimat Soeman yang khas Melayu: berirama, beralun dan barayun-ayun dengan ungkapan-ungkapan yang santun tersirat dalam tamsilan. Rasakanlah dalam cuplikan Mencari Pencuri Anak Perawan: Dalam dua puluh hari ini, tak lain yang dipercakapkan dan disebut-sebut orang, selain dari pada Sir Djoon, sekali lagi Sir Djoon, hingga nama anak muda itu jadi mashur. Ah, tetapi silaf gaknya,.....jadi mashur kata saja, sekali lagi jadi mashur, bukan karena ia mendapat gelar doktor, tidak karena memperoleh Nobel Prize, jauh dari mendapat kepandaian baru, tidak orang hartawan, bukan ahli politik, orang berilmupun tidak, bahkan ia hanya keluaran sekolah rendah, konon kabarnya tidak pula sampai mendapat ijazah. Jadi.......!

Tetapi baiklah! Jika sekiranya kata “mashur” itu belum boleh diuntukkan baginya, sudahlah, kita katakan saja jadi “sebut-sebutan” orang dan kalau masih terlampau hormat juga kita ubah pula, kita sebutkan jadi “buah mulut” orang. Itu perkara kecil.

Kekhasan daya ungkap cara Melayu itu dapat pula disimak dalam nukilan Percobaan Setia berikut: Pada suatu hari, tatkala inai di jariku masih merah, seolah aku duduk bersanding dua dengan istriku, Haji Salwiah, di atas loteng di beranda muka rumah kami. Mata kami belum mengantuk, apalagi hari cerah amat, bulan sedang terang-terang, langit bersih bagai dibasuh, angin berembus lemah gemulai, laksana angin dari jannah, waktu itu berkatalah aku:

“Menyesalkah engkau bersuamikan aku, Salwiah?”

“Jika Tuhan masih satu dan surga masih tempat orang yang beramal, niscaya aku takkan menyesal bersuamikan abang,” katanya sambil merebahkan dirinya keatas ribaanku.

Tatkala tangannya yang halus itu memeluk leherku, terfikirlah olehku: “Beginilah agaknya kesenangan surga!”

Ungkapan romantik-puitik Soeman ini mengingatkan kita bagaimana roman Laila-Majenun yang dipandang sebagai Romea-Juliet dari dunia Timur yang sangat mempesona. Apalagi Soeman secara khusus menulis kisah romantika sepasang anak manusia itu di dalam Kasih Tak Terlerai.***
__________________________
Fakhrunnas MA Jabbar dilahirkan di Desa Tanjung Barulak, Kampar, Riau pada 18 Januari 1959. Mulai menulis sejak di bangku SMP di Bengkalis Menamatkan Fakultas Perikanan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Riau (Unri) Pekanbaru. Semasa kuliah pernah menjadi Mahasiswa Teladan Tingkat Nasional utusan Unri (1984). Menjadi dosen di Universitas Islam Riau sejak 1986. Berkhidmat dalam dunia jurnalistik sejak tahun 1979-1999. Tulisannya berupa artikel, esai, cerpen dan puisi telah dimuat di sejumlah media lokal dan nasional seperti Horison, Kompas, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, Riau Pos, Kartini, Nova, Citra, Suara Pembaruan dan sebagainya. Beberapa bukunya telah terbit seperti Sebatang Ceri di Serambi, Air Mata Berzanji, Jazirah Layeela dll. Bermastautin di Pekanbaru. Makalah ini disampaikan pada diskusi sastra Komunitas Paragraf di Galeri Ibrahim Sattah, Bandar Serai, Pekanbaru, 9 April 2007.
Prev: Cerpenku: Biduk Sayak (Dimuat Batampos, Minggu 8 April 2007)

Informasi PON Riau 2012, Wisata, Seni dan Budaya, Kuantan Singingi, Pekanbaru dan Riau umumnya melalui sudut pandang seorang Blogger yang berasal dari Sungai Kuantan


Baca Juga Artikel Pekanbaru Riau Dibawah ini:

Dengan memasukan alamat email dibawah ini, berarti anda akan dapat kiriman artikel terbaru dari www.sungaikuantan.com di inbox anda:

Comments :

8 komentar to “Pesona Lokalitas Melayu Soeman Hs”

setelah postingan ini NanLimo Datuk Bertuh minta izin siatus...
mohon maaf... utk beberpa waktu tidak bis updte... nmun jgn khawtir... teman NanLimo Datuk Bertuah akn selalu hdir dengn tulisan2 menriknya.... "Pak Ngah Musafir Kelana" ...
Wslam...

NanLimo Datuk Bertuah said...
on 

Terimakasih telah dishare artikelnya di sini.

Ivan Kavalera said...
on 

Mantap, Bro. :)

Khery Sudeska said...
on 

wew.. artikelnya berkualitas sob..

gado gado campur lontong said...
on 

jadi iri neh ama pekanbaru..
kapan2 mo bwt blog khusus posting tentang Aceh ahh.. :D

SunDhe said...
on 

disini Riau bener-bener di kupas abis, andai aja aku bisa mengulas desaku :(, aku pasti bangga banget!!

nyunz said...
on 

Soeman HS dan sastrawan Melayu aku sangat senang membaca kisahnya. Seperti Siti Nurbaya novel yang tak akan lekang dimakan usia. Dalam suasana jaman sekarang yang penuh intrik, membaca ulang novel ini masih saja mengasyikkan.

arumsekartaji said...
on 

Nice posting buddy…I love to read it…I love your blog. Thanks for sharing..
I would like to share good news also. Here you:
LOWONGAN KERJA ENGLISH TUTORS. Konsultan Pendidikan Bahasa Inggris Nasional untuk cabang
i. Pekanbaru (0761-7641321)
ii. Balikpapan (0542-737537)
iii. Samarinda (0541-273163)
iv. Banjarmasin (0511-3362559)
v. Palembang (0711-350788)
vi. Makassar (0411-451510)
vii. Surabaya (031-5324548)
Kirim surat lamaran & CV anda ke easyspeak.recruitment@gmail.com atau hubungi Nomor Telepon yg tertera diatas. Contact Person: 081 24 111 111 (dodi)
Kunjungi www.easyspeak.co.id untuk mengetahui profile perusahaan kami. Terima Kasih.

LOWONGAN KERJA ENGLISH TUTORS said...
on 

Bagaimana Pendapat Anda?

KOMENTAR Sobat Adalah Nyawa Blog All About Pekanbaru Riau ini, Tentunya Blog Sobat Juga, Jadi Kita Sesama Blogger Mari Saling Menghidupi... Hehehe....

Bagi yang BELUM PUNYA BLOG bisa pakai 'Comment As: name/URL. masukkan nama dan FS, FaceBook, Multiplay atau lainnya (contoh: http://facebook.com/nanlimo)

 

SungaiKuantan.Com Site Info


TopOfBlogs