Apalagi, manusia-manusia sebagai individu yang terhimpun dalam komunitas bernama “masyarakat” itu, memiliki dasar keinginan yang sama untuk “melakukan” kegiatan kesenian, baik sebagai senimannya maupun penikmat. Sebab seni, kata Desmond Morris, adalah salah satu prilaku estetis (aesthetic behavior) yang dimiliki oleh setiap manusia. Artinya, dalam kondisi apa pun itu, seni tak bisa terlepas dari kehidupan manusia itu sendiri. Dan menjadi benarlah pernyataan banyak pakar seni kita bahwa kesenian adalah penjelmaan atau manifestasi dari ekspresi sosio-kultural masyarakat pencipta, sekaligus penikmatnya.
Namun, perubahan zaman yang tak terelakkan kemudian meniscayakan terjadinya perubahan-perubahan struktur sosial, nilai-nilai kutural, yang otomatis juga merubah pandangan masyarakat terhadap kesenian itu sendiri. Terutama tentu, pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana kesenian dalam memenuhi fungsi dan perannya terhadap perubahan kehidupan masyarakat. Bentuk kesenian tradisional yang konvensional, sudah tidak lagi dapat menampung berbagai kegelisahan zaman yang bergerak cepat dengan tabiatnya sendiri. Dunia modern, bahkan lagi dunia post-modern, hadir bergegas di depan mata kita sebagai sosoknya yang demikian memikat dan menggoda. Ada tawaran struktur nilai lain (yang mengintervensi dan seolah memaksa) dari yang global dan plural dalam ranah dunia multikulturalisme. Maka sudah pasti ada tuntutan-tuntutan kreativitas lain yang turut menyertainya. Lalu, bagaimanakah nasib kesenian kita dalam dunia yang semacam itu?
Di Riau, pada kenyataannya, kesenian sedang tergagap-gagap menghadapi fenomena sosial semacam ini. Kehidupan kesenian tradisional kita yang memang demikian rapuh infrastrukturnya, kian tersumbatlah ruang artikulasinya, bahkan menyempitlah rongga pernafasannya. Boleh dikata, tak ada kesenian tradisional kita kini yang betul-betul dapat hidup “sehat” berdampingan dengan masyarakat penikmatnya, bahkan di rumah pemiliknya sendiri. Jika tampak ada upaya-upaya dari berbagai elemen masyarakat (perorangan atau lembaga) untuk “menempatkan” atau “mencari tempat” hidup seni tradisi kita, itu pun belum secara sepenuhnya berhasil. Malah, kecenderungan yang muncul justru “menempatkannya” di posisi yang keliru. Semisal, seni tradisi hanya terkesan jadi “atribut” dari seremoni-seremoni kebudayaan kita saja. Seni tradisi, bahkan terkesan “dijual” untuk kepentingan-kepentingan tertentu, tanpa benar-benar menunjukkan kepedulian yang tinggi dan serius atas hidupnya, sekaligus atas hidup pekerja seni (seniman) yang menghidupinya.
Sementara, kesenian modern kita, seperti terombang-ambing gamang oleh kekuatan gelombang besar wacana seni kontemporer yang terus mendera. Wacana itu, seolah bergerak di luar “tubuh” kesenian kita. Ia memang datang. Datang bagai asap hutan terbakar yang menyerang dari berbagai arah. Tapi, sebagaimana asap, kedatangannya justru seolah mengganggu “kesehatan” kesenian kita. Belum tampak dengan demikian intensif pergerakan kesenian Riau untuk masuk dalam konstelasi wacana besar itu, ikut ambil bagian dengan memberi kontribusi-kontribusi kreatif-produktif. Bukan tersebab potensi pekerja seninya (sebab Riau memiliki cukup banyak seniman berpotensi dan berprestasi), akan tetapi lebih disebabkan oleh infrastruktur kesenian kita yang memang lemah.
Infrastruktur tak cuma dimaknai sekedar tempat pertunjukan dengan segala perlengkapannya atau sekedar minimnya dana untuk dunia kesenian, tapi juga jaringan kerja kreatif, lalu lintas wacana, peran dan fungsi kelembagaan seni, problem apresiasi, dan pentingnya peran pendidikan seni kita. Hal yang paling permukaan, mari kita tengok realitasnya: bahwa pementasan-pementasan seni pertunjukan (teater, tari, musik) lebih banyak bersifat insidental atau aksidental, bukan karena memang hendak menampilkan capaian-capaian baru. Setahun sekali pun, belum bisa dijamin akan terjadi peristiwa pertunjukan “berkualitas” di Riau ini. Pameran seni rupa masih sangat-sangat jarang. Apalagi seni multimedia (film dan fotografi misalnya) masih jadi “dunia asing.” Genre seni yang saya sebut terakhir ini, agaknya akan jauh lebih memiliki banyak tantangan untuk berkembang cepat dibanding dunia seni pertunjukan yang memang telah cukup akrab di lingkungan masyarakat kita.
Ditulis Oleh Marhalim Zaini
sastrawan dan berkhidmat di Akademi Kesenian Melayu Riau
Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian Riaupos
Bersambung...
Informasi PON Riau 2012, Wisata, Seni dan Budaya, Kuantan Singingi, Pekanbaru dan Riau umumnya melalui sudut pandang seorang Blogger yang berasal dari Sungai Kuantan
Moga kesenian Riau makin maju dengan adanya AKMR.
semoga kesenian riau selalu jaya di bumi pertiwi ini
mantab banget nich... ku tunggu tukeran link nya ya
salam kenal juga..
AKMR sangat menunjang proses peyegaran dibidang seni dan wadah un tuk bisa mengekspresikan jiwa seni personalnya didalam pendidikan keilmuan