>>Lalu, dalam kondisi serupa itu, saya kira salah satu upaya yang paling ideal dapat dilakukan untuk menjawab tantangan sekaligus membangun masa depan kesenian kita yang lebih terukur adalah dengan masuk ke ranah pendidikan formal. Terukur, karena selain dunia pendidikan memang diselenggarakan secara sistematis, menawarkan program-program reguler yang terjaga kontinuitasnya dalam bentuk kurikulum dengan jangka waktu berjenjang, juga dapat “mengawal” perkembangan proses kreatif dan pemahaman kesenian secara lebih terarah dari generasi ke generasi dengan orientasi melahirkan profesionalisme di bidang seni. Profesional baik sebagai akademisi maupun sebagai seniman.
Dalam konteks pendidikan seni ini, ada dua jalur yang sesuai dengan capaiannya masing-masing. Jalur formal seperti sekolah kejuruan seni dan sekolah tinggi seni, yang mengarah pada profesionalisme seni, dan jalur non-formal seperti sanggar, kursus/pelatihan, atau lembaga/komunitas kesenian, atau pendidikan seni di sekolah-sekolah umum (SD, SLTP, dan SMU) yang lebih mengarah pada pemanfaatan kegiatan seni untuk menumbuhkan kemampuan apresiasi seni dan budaya peserta didik.
Persoalannya kemudian adalah, pendidikan seni di jalur formal (dan juga non-formal) belum mendapatkan “tempat yang seimbang” dibanding dengan lembaga pendidikan formal di bidang non-seni. Ini problem klasik tentang paradigma dan persepsi masyarakat memandang dunia seni itu sendiri, yang ironisnya juga diamini oleh para pengambil kebijakan di bidang pendidikan kita. Pendidikan seni di sekolah-sekolah umum misalnya, tak lebih sekedar jadi kegiatan rekreatif. Setelah penat mengikuti mata pelajaran “serius” lalu disegarkan oleh “kegiatan” seni. Tujuan pendidikan seni yang tertera dalam kurikulum (GBPP 1994) untuk “mengembangkan kemampuan apresiasi dan berkarya kreatif” tentu akan sulit untuk digapai jika arah pembangunan bangsa ini juga tak memungkinkan tersedianya infrastruktur proses belajar-mengajar kesenian yang memadai; mulai dari kurikulum dan sistem pendidikan, sarana prasarana, tenaga pendidik, dan lain-lain.
Hari ini, khusunya sekolah-sekolah di Riau, sesungguhnya telah mulai menyadari betapa kurangnya infrastruktur itu, terutama tenaga pendidik yang profesional. Terbukti, dari sejumlah pengalaman saya melihat dan mendengar (langsung dan tak langsung), tenaga pendidik seni di sekolah-sekolah umum itu ditempati oleh guru-guru dari bidang study yang lain. Beberapa guru bahkan sempat datang pada saya, baik dalam sebuah sesi seminar dan workshop maupun secara pribadi, yang mengeluhkan prihal ini.
Guru-guru ini—karena rasa tanggungjawabnya yang besar sementara kemampuannya yang minim—justru berniat privat pada saya tentang seluk-beluk pengajaran dunia teater baik secara teori maupun praktek. Dan akhirnya, supaya lebih efektif, saya menawarkan solusi untuk “memperbantukan” mahasiswa saya di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) sebagai pendampingnya. Bahkan berbagai permintaan dari banyak sekolah umum di sejumlah daerah Riau kepada AKMR untuk mengirimkan alumninya, adalah sebuah kenyataan lain. Kenyataan bahwa, lembaga pendidikan tinggi seni macam AKMR kian dibutuhkan.
Namun begitu, satu hal penting lain yang perlu diluruskan di sini adalah bahwa pendidikan seni itu bukanlah pendidikan instan yang hasilnya dapat segera diketahui. Banyak persepsi semacam ini yang tumbuh di masyarakat kita tersebab minimnya pemahaman dan apresiasi mereka terhadap kesenian. Selain bahwa masyarakat kita juga, telah demikian terbawa arus pragmatisme yang lebih menganut paham efisiensi waktu dan biaya. Padahal, dalam pendidikan seni, mengutip Sofyan Salam (Guru Besar Universitas Negeri Makassar), “diperlukan pemberian pengalaman estetik yang lama dan intensif untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Diakui bahwa pendidikan seni efektif untuk mengembangkan kepekaan rasa estetik dan kekreatifan.” Tapi harus diakui pula, demikian Sofyan menulis, bahwa “pendidikan seni bersifat pendidikan jangka panjang.
Karena itu, dalam konteks jangka pendek, ia dinilai tidak efisien karena (seolah) hasil yang dicapai tak sebanding dengan waktu, biaya, dan tenaga yang digunakan.” Dan rasanya, saya juga harus mengutip kalimat lain dari Sofyan yang bagus ini, “saya menyadari bahwa tidak mudah untuk menumbuhkan apresiasi terhadap pendidikan seni di tengah cengkeraman “pola pemikiran otak-kiri” dalam lingkungan system pendidikan formal kita dewasa ini. Tetapi, upaya penumbuhan apresiasi itu harus dilakukan. Tak ada jalan lain.”(2005).
Bersambung...
Informasi PON Riau 2012, Wisata, Seni dan Budaya, Kuantan Singingi, Pekanbaru dan Riau umumnya melalui sudut pandang seorang Blogger yang berasal dari Sungai Kuantan
posting baru.. komentar pertama nih.. so.. nice info sobat
sambil santai baca postingannya...
tak bales pertamaxxx ya kekekeke *ngigau*
mampir skalian nyimak postingan :D
Pendidikan Seni di Indoseia masih dalam tahap pemblajran yang melengkapi kurikulum bukan untuk menjamin kehidupan siswa disekolah, padahal bnyaka siswa yang berpotensi dibidang seni namun terkendala dengan masalah sarana prasarana dan kurikulum yang bersifat kognitif bukan kretif dan inovatif.