-

October 31, 2008

Mereka “Menghidupkan” Melayu Kembali


Merawat sebuah khasanah budaya tak lah mudah—seperti membalik telapak tangan—di era serba modern ini. Apalagi sebuah karya sastra yang berisi kisah-kisah masa kuno yang harus “dihidupkan” kembali di abad ke-21 ini. Butuh ritual khusus meramunya—selain waktu, fikiran, tenaga bahkan uang—untuk “meng­hidupkan” masa kuno tersebut. Tapi, rentang waktu 2007-2008 mereka—Ridha K Liamsi, Marhalim Zaini, Taslim F Datuk Mogek dan Junaidi Syam serta Saidul Tombang—membuktikan petuah ini: Takkan Hilang Melayu di Bumi. Inilah kisah “menghidupkan” Melayu yang telah mati itu.

***

Sempena ulang tahunnya yang ke-64, Selasa 17 Juli 2007 malam, Rida K Liamsi melun­curkan novel Bulang Cahaya di Hotel Ibis Pekanbaru. Novel perdana ini diterbitkan oleh Sagang dan JP Books. “Aku punya keinginan menghasilkan sesuatu. Menurut aku menulis merupakan sebuah sumbangan untuk kehidupan,” ungkap Chief Executive Officer (CEO) Riau Pos Group (RPG) itu.

Awalnya, novel ini dimaksudkan sebagai sebuah trilogi. Bagian dari novel ini pernah dimuat sebagai cerita bersambung di RPG—saat berkantor di Jalan Cempaka kemudian Jalan Kuantan Raya Pekan­baru—sekitar tahun 1995. Karena perjalanan waktu dan kesibukan, maksud itu tak kesam paian. “Lalu cerita ber sambung itu diedit, ditulis ulang dan jadilah novel ini,” terang pengusaha yang juga sastrawan Riau ini.

Sepuluh tahun Ridha bertungkus lumus meramu novel ini. Selain harus melakukan riset pustaka—membaca buku-buku sejarah, budaya Melayu, dan Bugis. Ridha juga berdiskusi dengan Hasan Yunus—budayawan Riau. Saat ini mengelola majalah budaya Sagang. ”Beliau yang banyak memberi ide, diskusi tentang buku-buku dia, beliau kan banyak menulis buku tentang budaya Melayu, dia juga yang banyak memberi motivasi agar novel ini cepat selesai,” kenang Ridha.

Kata Bulang Cahaya diambil dari lafal suku Bugis—suku yang berasal dari Sulawesi Selatan. Bulang berarti bulan. ”Kalau makan orang bugis kan melafalkannya makang,” kata Ridha. Bulang Cahaya atau cahaya bulan juga merupakan nama salah satu pulau di Batam dan nama kampung di Tanjung Pinang, propin si Kepulauan Riau. Hingga kini nama itu masih ada.

Novel Bulang Cahaya bercerita kerajaan Melayu. Kisah cinta seorang Raja Djafaar dengan Tengku Buntat anak seorang bangsawan Melayu. Cinta mereka dipisahkan karena kekuasaan. Namun asmara itu tak terpisahkan meski mereka tak bersatu dalam pernikahan. Karena cinta inilah akhirnya peristiwa dahsyat terjadi: perang tak terelakkan hingga kerajaan Melayu terpecah belah. Cerita ini terasa hidup apalagi settingnya benar-benar daerah Kepulauan Riau, Daik Lingga hingga ke Semenanjung Melaka. Meski berlatang sejarah Ridha tak mengakuinya, “Saya tidak pernah bermain dengan angka-angka—penyebutan tahun terjadinya peristiwa, semua murni fiksi.”

***

Opera Melayu Tun Teja tampil karena tak ada pementasan “berkelas” yang ditampilkan sanggar-sanggar teater Riau—baik di Riau maupun di luar Riau. Bertempat di Anjung Seni Idrus Tintin, opera tersebut dipentaskan selama tiga hari-hari berturut-turut, 29-31 Agustus 2007.

Mengambil seting masa lalu kejayaan kerajaan Melayu, opera ini berhasil mengupas beberapa sisi yang dilupakan. Pengga rapan pementasan oleh sutradara SPN Marhalim Zaini dan tata musik dari SPN Zuarman Ahmad. Opera ini tampil memukau segenap penonton. Tak salah jika kemudian Yaya san Sagang mem berikan anugerah sebagai Karya Alternatif Pilihan Sagang 2007. Pemen tasan ini dianggap melewati simbol-simbol pementasan biasa karena mampu memberi kan sesuatu yang “lebih” di dalamnya.

Marhalim Zaini, menampilkan cerita yang berbeda ter­hadap cerita-cerita Hang Tuah yang per­nah dipentaskan. Ia mengang­kat mar­tabat perempuan, bernama Tun Teja. “Perempuan sangat berperan penting dalam sejarah, hal yang luput dalam khasanah melayu—Hikayat Hang Tuah, peran perempuan tidak terlalu diperhitungkan,” terang Marhalim.

Dalam Hikayat Hang Tuah, Hang Jebat selalu salah dan Hang Tuah benar. Namun, Marhalim membuatnya berbeda. Ia menang­gapi kese­tiaan Hang Tuah adalah kese­tiaan yang kaku seharusnya, Raja alim Raja disembah, Raja zalim Raja d­isanggah. Tetapi ketika Hang Tuah yang telah dititahkan Raja untuk dibunuh, secara diam-diam diselamatkan oleh penasihat kerajaan dan dibuang kehutan masih saja setia terhadap Raja.

Saat kembali ke kerajaan untuk menaklukkan Hang Jebat—teman Hang Tuah saat kecil—yang telah merebut tahta kerajaan karena membenci Raja yang tidak arif dalam mengambil keputusan. Atas perintah Raja, Hang Jebat meregang nyawa ditangan Hang Tuah. “Konsepsi dari kesetiaan Hang Tuah tidak masuk akal, apakah ini konsep kesetiaan Melayu? Kita harus membuat penafsiran baru tentang kesetiaan itu,” harap penerima Anugerah Seni dari Dewan Kesenian Riau (DKR) sebagai Seniman Pemangku Negeri bidang sastra pada tahun 2005.

***

Buku Trombo Rokan, Buku Besar Alam Manusia dan Budaya Melayu Rokan adalah semacam ensiklopedi—mirip kamus—tentang masyarakat Melayu, khususnya Melayu Rokan. Namun, isi buku ini kebanyakan tentang istilah-istilah Melayu Rokan Rambah. Buku ini ditulis oleh Taslim F Datuk Mogek dan Junaidi Syam. Penggarapan buku yang terdiri atas dua jilid ini dinilai amat serius, hasil penelitian yang sangat cermat, intens, dan mendalam.

Taslim F Datuk Mogek adalah seorang yang buta aksara. Namun ia dibantu oleh Junaidi Syam untuk menuliskannya. “Suatu bentuk kecintaan terhadap kampung saya, untuk selalu menjaga khasanah-khasanahnya,” kata Taslim. Kurun waktu empat tahun itu Junaidi bersama Taslim berusaha menghimpun Trombo Rokan. Taslim yang lebih banyak tahu tentang khasanah Melayu Rokan mengajak Junaidi ber kunjung ke masyarakat yang mempunyai khasa nah-khasanah melayu. Junaidi menuliskannya. Buku yang berjilid dua ini berhasil meraih Anugerah Sagang 2007 Ketegori Buku Pilihan.

***

Kamis 15 Mei 2008. novel Lawa karya perdana Saidul Tombang. Pre Launchingnya diadakan di Cinema Cafe Jalan Soekarno Hatta Pekan­baru. Novel yang diterbitkan Jantang Communication memper­kenalkan khasanah Seni dan Budaya Melayu Kampar Riau. Pre launching tersebut merupa kan prosesi awal dari tiga seremoni yang menandai peluncuran novel yang diterbitkan Jantang Communication tersebut.

Lawa berkisah kehidupan masyarakat Kampar di masa lalu: masa peralihan penjajah dari Belanda kepada Jepang dan kembali kepada Belanda. Irama perang dan perlawanan tentu saja cukup terasa.

Saidul terinspirasi cerita dari neneknya menjelang tidur semasa kanak-kanak. Ia mengaku tak mudah menyelesaikan sebuah novel, “Mungkin bagi sebagian orang, menulis novel itu mudah, tetapi bagi saya tidak. Sangat sulit dan hanya karena kehendak Allah saja novel ini selesai,” ujarnya merendah.

Lawa adalah kisah cinta tentang dua orang wanita yang mencintai seorang lelaki. Cinta yang bergerak antara tiga tokoh utama dalam novel ini: Jailawa, Markoni, dan Zahra, di zaman kolonial Belanda. Keterjalinan alur kisah cinta tokoh bertiga ini sesungguhnya cukup sederhana.

***

Perjuangan mereka, “menghidupkan” melayu kembali bukanlah perkara mudah. Rida K Liamsi butuh waktu 10 tahun merampungkan novelnya. Taslim F Datuk Mogek dan Junaidi Syam butuh empat tahun. Tapi semangat mereka: Sekali Layar Terkembang, Takkan Hilang Melayu di Bumi. Bagaimana dengan Rantau Kuantan?????***

Informasi PON Riau 2012, Wisata, Seni dan Budaya, Kuantan Singingi, Pekanbaru dan Riau umumnya melalui sudut pandang seorang Blogger yang berasal dari Sungai Kuantan


Baca Juga Artikel Pekanbaru Riau Dibawah ini:

Dengan memasukan alamat email dibawah ini, berarti anda akan dapat kiriman artikel terbaru dari www.sungaikuantan.com di inbox anda:

Comments :

7 komentar to “Mereka “Menghidupkan” Melayu Kembali”

menghidupkan budaya itu sangat bagus apalagi di zaman modern ini

Agung Aritanto said...
on 

Eh tulisab BM ada di blog, hehehe.....
Tapi bagus koq, tulisan akan mengabadi sepanjang zaman, sedangkan lisan akan berlalu bersama angin. Ya gak? Chayo boys, maju terus pantang menyerah!
Semangat!!!

love said...
on 

setuju! kalo bukan kita yg menghidupkan budaya, siapa lagi?

Anonymous said...
on 

Jangan lupa Laskar Pelangi series. Meski tidak sepenuhnya budaya Melayu, Belitung merupakan komunitas Melayu dengan budaya yang khas dan bakat penulis yang besar :-)

Anonymous said...
on 

Menghidupkan kembali, ape tak salah tu tok?, melayu saja tak pernah hilang apalagi sampai mati... ye tak?

Wisata Riau said...
on 

itu kan kiasan bro...

Admin said...
on 

@Hendrawan: Tak nampak ape?? tu kata Menghidupkan dalam tanda kutip... kura-kura dalam perahu yee??

Admin said...
on 

Bagaimana Pendapat Anda?

KOMENTAR Sobat Adalah Nyawa Blog All About Pekanbaru Riau ini, Tentunya Blog Sobat Juga, Jadi Kita Sesama Blogger Mari Saling Menghidupi... Hehehe....

Bagi yang BELUM PUNYA BLOG bisa pakai 'Comment As: name/URL. masukkan nama dan FS, FaceBook, Multiplay atau lainnya (contoh: http://facebook.com/nanlimo)

 

SungaiKuantan.Com Site Info


TopOfBlogs