Pertemuanku pertama kali dengan Weni terjadi pada bulan September 2008, di penghujung puasa menjelang Hari Raya Idul Fitri. Ia tinggal dirumahku karena menolak untuk pulang merayakan Idul Fitri bersama keluarganya. Karena ia tak mungkin tinggal sendirian di panti asuhan, maka oleh orangtuaku yang pengasuh panti, ia dibawa kerumah. Bertemu Weni, seolah bertemu dengan model anak-anak bermasalah dalam contoh kasus – contoh kasus kuliah psikologi pendidikan ataupun psikologi perkembangan. Anak ini mengalami banyak sekali masalah. Ia sangat pelupa, lupa dengan nama orang yang baru dikenalkan padanya, lupa pada nama benda yang baru ia ketahui, bahkan ia lupa dengan apa yang baru saja ia katakan. Jika Weni diminta untuk melakukan sesuatu dengan kalimat perintah yang mungkin rumit baginya, ia menjadi benar-benar bingung untuk melakukannya. Dan yang paling khas, anak ini banyak sekali bicara dan tak henti-henti. Ia selalu mengajak oranglain berbicara dengan mengajukan sangat banyak pertanyaan, atau ia akan bercerita sendiri, jika oranglain bosan, ia tetap akan bicara sendiri. Selain itu, Weni selalu bergerak tak pernah diam. Ia selalu bergerak kesana-kemari, tak pernah bisa fokus dalam melakukan sesuatu. Pernah satu kali aku mengajarkan satu gerakan senam padanya, hanya sebentar, kemudian ia berpindah melakukan aktivitas lain lagi. Sulit untuk mempertahankan perhatiannya pada sesuatu. Dan ia sangat pembosan.
Awal berada di panti asuhan, semua anak usia sekolah didaftarkan untuk masuk ke sekolah-sekolah sesuai dengan jenjang mereka. Tak terkecuali dengan Weni, ia didaftarkan masuk di kelas 1 sebuah SD negeri. Namun, hanya beberapa hari Weni bersekolah, pihak sekolah menyatakan tak sanggup mendidik Weni dan mengembalikan Weni pada pengasuh panti. Menurut pihak sekolah, perilaku Weni berada diluar kemampuan mereka untuk mendidik seorang siswa. Weni duduk di kelas satu, tapi ia bisa dengan seenaknya tiba-tiba masuk ke ruang kelas lima saat pelajaran berlangsung (di kelas lima ada seorang anak panti asuhan juga dan Weni ingin bersamanya). Jika sedang berada di dalam kelas, Weni sering mengganggu kegiatan belajar-mengajar di kelas itu. Ia berjalan-jalan di kelas, mengajak teman-temannya berbicara, bahkan terus-terusan bicara dengan dirinya sendiri. Ia tak pernah sedikitpun menghiraukan atau memperhatikan gurunya, ia tak pernah fokus untuk belajar. Lebih jauh, dia memang tak bisa dan tidak tahu bagaimana caranya belajar di sekolah-sekolah. Menurut pihak sekolah, Weni bukan anak yang normal. Dan sejak itu, Weni belum masuk sekolah formal lagi hingga kini.
Ada kemungkinan Weni mengalami gangguan hiperaktivitas, atau dalam dunia psikologi dikenal dengan sebutan ADHD (Attention Deficit and Hiperactivity Disorder). ADHD merupakan suatu gangguan dimana seorang anak mengalami gangguan hiperaktivitas dan kesulitan dalam memfokuskan perhatian. Salah satu yang menyebabkan anak menjadi ADHD adalah trauma kekerasan yang terjadi di masa kecil. Weni memiliki trauma kekerasan di masa kecil. Sebelum di panti asuhan, Weni mengaku sering mendapatkan siksaan-siksaan fisik dari orang yang berada di lingkungannya. Weni memiliki luka bakar di tangan kiri, ia mengaku luka itu ia dapatkan dari seseorang yang membakar kantong keresek diatas tangannya dan lelehan panasnya diteteskan ke tangannya. Namun, ADHD ini hanyalah sebuah dugaan. Untuk mengetahui apakah ia benar-benar mengalami gangguan ini atau tidak, perlu dilakukan assessment lebih jauh dan diagnosis dari seorang psikolog professional. Apapun masalah yang dialami oleh Weni, secara umum, aku berani berkesimpulan bahwa ia termasuk anak yang berkebutuhan khusus.
Tentu bukan masalah benar ketika Weni berada di kota besar, misalnya di Yogyakarta. Ada banyak psikolog yang bisa membantu ia dalam mengatasi masalah yang dialaminya. Ada sekolah-sekolah inklusi yang pasti bersedia menerima dan mau mendidiknya. Namun, Weni adalah anak yang ditakdirkan lahir di sebuah desa yang jauh terpencil di pedalaman Sumatera. Lalu nasib yang sedikit lebih baik membawanya ke Panti Asuhan Puteri Aisyiah di Teluk Kuantan, sebuah kota kecil yang masih serba terbatas secara fasilitas. Tidak ada psikolog yang bisa membantu. Tidak ada sekolah inklusi yang pasti mau menerima, yang ada hanyalah sekolah negeri yang tak sanggup menghadapi anak “istimewa” seperti dirinya, lebih “istimewa” dibanding anak-anak lain pada umumnya.
Aku percaya, semua anak berhak untuk mendapatkan pendidikan, seperti apapun keadaannya. Namun, pendidikan nasional kita tak mendukung untuk hal itu terjadi. Selama ini, sistem pendidikan Indonesia, selain hanya menekankan pada aspek kognitif, juga hanya bisa mengakomodir anak-anak yang katakanlah normal dan tak memiliki kesulitan-kesulitan tertentu. Memang saat ini sedang berkembang model sekolah inklusi, dimana anak-anak yang normal dan berkebutuhan khusus (seperti yang cacat fisik, autis, ADHD, gifted, dll.) berada dalam satu kelas yang sama. Para pendidik di sekolah inklusi pun memiliki ilmu tentang bagaimana mengajari masing-masing anak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Namun, model sekolah ini jumlahnya terbatas dan biasanya hanya ada di kota-kota besar atau lebih spesifik kebanyakan berada di Jawa. Sedangkan banyak didaerah-daerah lain di seluruh Indonesia, terutama di daerah-daerah yang sulit akses informasi atau di daerah-daerah yang para pendidiknya sengaja tak mencari informasi, model pendidikan seperti ini belumlah terlalu populer.
Weni hanyalah satu dari sekian banyak anak Indonesia yang hak pendidikannya tak terpenuhi akibat kebutuhan khusus mereka tak terfasilitasi oleh sistem pendidikan nasional kita. Di belahan nusantara yang lain, mungkin masih banyak anak-anak yang mengalami nasib yang sama seperti Weni. Ketika sistem pendidikan nasional tak berpihak pada anak-anak dengan kesulitan belajar atau berkebutuhan khusus, dan ketika sekolah inklusi tidak terdapat di suatu daerah, maka hati nurani beserta integritas dan kreativitas guru/pendidik yang menjadi tumpuan terakhir bagi kita. Sejarah telah mencatat, seorang guru bernama Bu Muslimah, mau dan bersedia menerima Harun sebagai siswanya, sekalipun Harun seorang anak dengan keterbelakangan mental, bercampur dengan siswa lain dalam kelas biasa. Padahal aku yakin, ketika itu Bu Muslimah pasti belum pernah dengar tentang konsep sekolah inklusi. Kita berharap, guru mau bersikap inklusif dalam mendidik semua anak bangsa, bagaimanapun keadaannya. Semoga para guru mau merubah paradigma, bahwa tak hanya anak normal saja yang boleh sekolah.
Terakhir, aku hanya ingin bilang, MAJU TERUS PENDIDIKAN INDONESIA!!!!
*Oleh Mufliha Fahmi
Informasi PON Riau 2012, Wisata, Seni dan Budaya, Kuantan Singingi, Pekanbaru dan Riau umumnya melalui sudut pandang seorang Blogger yang berasal dari Sungai Kuantan
ya pendidikan memang memerlukan modal, sehinga tidak semua anak yang miskin mendapatkan pendidikan yang sepadan. Hinga perlu dicari formulanya. hinga weni-weni lain bisa bersekolah dengan baik .
.
Met malam semoga sukses selalu
Wassalam
ru,it juga ya =_=a
rumit juga ya =_=a
dunia pendidikan kita masih tertinggal jauh kawan ! masalahnya hanya klise : Dana !!! anggaran gede, tapi banyak di sunat ! kalo sudah gini kita harus percaya sapa ?
ayo weni semangat masih ada hari esok yang indah untuk kamu
Dunia pendidikan membuat aku teringat filem Laskar Pelangi