-

August 11, 2009

AKMR Menjadi STSR

AKMR Menjadi STSRPostingan ini adalah sambungan ke tidua dari tulisan AKMR dan Masa Depan Kesenian Riau
>> Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) yang berdiri sejak tahun 2002, saat ini adalah satu-satunya perguruan tinggi seni swasta di Sumatera. Saya kira, tekad dan semangat sejumlah budayawan/seniman kita yang tertanam ketika dulu perencanaan awal berdirinya kampus yang bertempat di kompleks Bandar Serai ini, adalah untuk turut membangun infrastruktur dunia kesenian (di) Riau. Jasa dan sumbangsih pemikiran para budayawan/seniman ini, tentu tak boleh begitu saja diabaikan. Berbagai tuntutan dari berbagai tantangan yang saya sebutkan di awal tulisan ini, tentu telah lama menjadi pemikiran bersama, untuk kemudian secara bersama pula mencari solusinya.

Menjadi gerakan dan tindakan yang sangat tepat ketika salah satu pilihannya adalah membangun/mendirikan sebuah perguruan tinggi seni di Riau. Lembaga pendidikan, setakat ini, masih tetap dipercaya dan diyakini sebagai sebuah ruang yang paling mungkin melahirkan manusia-manusia berbudaya dan berperadaban. “Sebab pendidikan merupakan bagian dari proses pembudayan itu sendiri” (Tilaar, 1999).

Tuntutan yang paling realistik, hemat saya, berdirinya AKMR tak cuma ikut mewujudkan “mimpi” Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu, akan tetapi adalah bagaimana kontribusi konkretnya terhadap gerak perkembangan kesenian di Riau kini dan masa mendatang. Artinya, peran dan fungsi strategis sebuah perguruan tinggi seni di sebuah daerah macam Riau, dengan sumber kekayaan khazanah kesenian lokal yang melimpah, dan beriringan dengan pesatnya pembangunan industri serta serbuan urbanisasi, disadari menjadi kekuatan sekaligus penyeimbang tersendiri bagi sehatnya “ruang spiritualitas” negeri ini.

Mari kita tengok, bagaimana peran dan fungsi Institut Seni Indonesia (ISI) baik di Yogyakarta, Denpasar, dan Surakarta. Juga peran dan fungsi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Bandung dan Padang Panjang. Masing-masing perguruan tinggi seni itu seolah jadi “gerbang” masuk yang “mengawal” berbagai pergerakan kesenian di daerahnya. Kebutuhan berdirinya ISI Yogyakarta misalnya, ketika “menyatukan” sejumlah akademi seni dari berbagai genre, adalah hendak “menampung” melimpahnya dunia kreativitas para seniman, baik tradisi maupun modern.

Jadi, ia muncul dari kesadaran bahwa dunia kreativitas yang “liar” itu harus juga diimbangi dengan dunia akademis yang teoritik dan sistematik. Bukan pula berarti bahwa “keliaran” itu kemudian dikerangkeng oleh penjara-penjara akademis, tapi justru memberi laluan yang luas terhadap proses pengembangannya. Kritikus pun diharapkan lahir dari sini, meski target lain juga dapat dicapai, melahirkan “seniman yang sarjana” dan “sarjana yang seniman.” Begitu pula halnya ISI Denpasar. Kita sangat tahu, bagaimana dunia kesenian bergerak dengan demikian dinamis di Bali. Seni tradisi dan seni modern seolah sama kuatnya, tarik-ulur mengurai simpul-simpul estetikanya masing-masing.

ISI Surakarta saya kira juga tak jauh berbeda, bagaimana perannya ikut menjadi salah satu pusat kreativitas seni yang unggul. Demikian pula STSI Bandung dan STSI Padang Panjang (keduanya kini sedang berupaya merubah statusnya jadi ISI) adalah lembaga pendidikan tinggi seni yang tak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kesenian di daerahnya masing-masing. Saya kira, masih demikian banyak pula perguruan tinggi seni swasta di seluruh pelosok Indonesia yang turut aktif dan konsisten memberi kontribusi konkret. Lalu, bagaimana dengan AKMR?

Secara obyektif, saya berani dan optimis mengatakan, jika AKMR terus secara serius melakukan pembenahan-pembenahan infrastruktur (internal dan eksternal), maka “kerja” yang sekian tahun ini dilakukan (sejak berdiri), akan mampu “menjaga” langkah perkembangan kesenian kita menuju capaian yang diharapkan di masa mendatang.

Tentu, langkah yang seiring dan saling melengkapi, sinergi dan bekerjasama, dengan program-program lembaga-lembaga kesenian non-formal yang ada di Riau, juga peran serta pemerintah daerah. Pembenahan internal, adalah terutama bagaimana kelengkapan sarana-prasarana sebagai syarat mutlak dalam menunjang keberhasilan pendidikan terus ditingkatkan. Gedung kampus yang terbatas, yang kini masih “memakai” dua unit bangunan (Purna MTQ) di kompleks Bandar Serai, tak mungkin lagi dapat “menampung” secara lebih maksimal dan representatif segala aktivitas proses perkuliahan di AKMR. Apalagi, kini AKMR sedang menuju peningkatan statusnya menjadi STSR (Sekolah Tinggi Seni Riau), dari D3 menuju S-1, yang tentu saja kian banyak kelengkapan dan kebutuahan perkuliahan yang mesti disiapkan. Kebutuhan utama sarana—dan ini sesungguhnya menjadi kebutuhan primer bagi kampus seni yang memfokuskan dirinya pada seni pertunjukan—adalah tersedianya panggung pertunjukan bagi tiap-tiap jurusan (Teater, Tari, dan Musik). AKMR belum memiliki panggung yang representatif.

Dan ini jadi problem serius yang dihadapi selama ini, baik dalam proses perkuliahan praktek yang hampir saban hari membutuhkan media panggung, maupun kebutuhan pentas apresiasi. Ini, tentu saja belum lagi berbagai kebutuhan lain macam peralatan laboratorium seni, dan sebagainya.

Pembenahan internal lain yang tampak terus dilakukan kini adalah dengan “menyekolahkan” para dosen pengajarnya ke jenjang lebih tinggi di berbagai perguruan tinggi seni di Indonesia. Tentu ini program yang memang wajib dilakukan untuk memenuhi standar pendidikan kampus yang berkualitas, sehingga juga dapat memenuhi standar penilaian akreditasi. Kesadaran atau paradigma masyarakat kita yang belum menganggap bahwa pendidikan kesenian sama pentingnya dengan pendidikan di cabang ilmu yang lain, secara tidak langsung membuat minat orang untuk masuk sekolah atau kuliah di dunia kesenian menjadi minim. Maka, memang akhirnya boleh dikata cukup sulit mencari tenaga pengajar yang jebolan dari perguruan tinggi seni, baik S1 apalagi S2.

Ditambah lagi, nampaknya beasiswa-beasiswa yang tersedia kini, baik dari swasta maupun dari pemerintah sendiri, belum menyentuh kepada jurusan pendidikan seni. Bolehlah ditengok, misalnya, ketika pengumuman pemberian beasiswa di media massa (terutama beasiswa pemerintah daerah), jurusan seni tidak tertera di sana. Padahal support finansial sangat diperlukan, tak hanya untuk membantu biaya praktek kesenian yang cukup tinggi, juga sesungguhnya dapat memberi image bahwa pemerintah memang peduli dengan kemajuan pendidikan seni di masyarakatnya.

Sementara pembenahan eksternal, meliputi berbagai kerja membangun jaringan dan kerjasama dengan stakeholder, di dalam maupun luar Riau, dengan swasta atau pemerintah, berupa material maupun non-material, yang dapat memperluas akses dan laluan untuk perkembangan kampus ke depan.

Kerja ini, secara bertahap telah dilakukan oleh AKMR. Untuk non-materi misalnya melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi negeri macam ISI Yogyakarta, dan juga STSI Padang Panjang, baik bersifat akademis maupun non-akademis. Atau juga kerjasama dengan berbagai komunitas seni di dalam dan di luar Riau. Untuk yang bersifat materi, saya kira respon dan apresiasi selama ini dari sejumlah pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten, atau juga dari pihak swasta, telah cukup menunjukkan bahwa AKMR mendapat dukungan yang kuat. Meski mungkin, di sejumlah pihak belum dapat secara reguler mengulurkan bantuannya. Namun, hal yang mungkin patut diketahui oleh berbagai pihak, bahwa AKMR adalah sebuah kampus. Bukan sebuah sanggar.

Otomatis, logikanya, kebutuhan kampus jauh lebih besar dari pada sanggar misalnya. Atau mestinya jauh lebih besar juga dari pada dana sejumlah kegiatan-kegiatan kesenian tahunan atau insidental di Riau. Dan saya kira, jika kita secara bersama memang telah komitmen untuk turut membangun dunia pendidikan seni kita, juga terkait membangun dan mengawal gerak perkembangan kesenian kita ke depan, pun turut meretas salah satu jalan menuju visi-misi 2020, maka tentu mari lihatlah AKMR sebagai milik bersama, dan membangunnya secara bersama-sama pula.*** SELESAI

Informasi PON Riau 2012, Wisata, Seni dan Budaya, Kuantan Singingi, Pekanbaru dan Riau umumnya melalui sudut pandang seorang Blogger yang berasal dari Sungai Kuantan


Baca Juga Artikel Pekanbaru Riau Dibawah ini:

Dengan memasukan alamat email dibawah ini, berarti anda akan dapat kiriman artikel terbaru dari www.sungaikuantan.com di inbox anda:

Comments :

3 komentar to “AKMR Menjadi STSR”

Walaupun dunia seni mungkin tidak butuh hal-hal yang sifatnya formal, tetapi kedepannya mau nggak mau formal itu diperlukan. Saya bukan orang seni tapi setuju kalau jadi STS biar formal bisa diakui. Masyarakat kan kadang nuntut juga hal-hal yang formalitas

Unknown said...
on 

Suksesskan Visi Misi 2020 dengan mendukung seni budayanya

Ronaldo Rozalino said...
on 

Sukses buat Masa Depan KEsenian Riau.....

visit gorontalo said...
on 

Bagaimana Pendapat Anda?

KOMENTAR Sobat Adalah Nyawa Blog All About Pekanbaru Riau ini, Tentunya Blog Sobat Juga, Jadi Kita Sesama Blogger Mari Saling Menghidupi... Hehehe....

Bagi yang BELUM PUNYA BLOG bisa pakai 'Comment As: name/URL. masukkan nama dan FS, FaceBook, Multiplay atau lainnya (contoh: http://facebook.com/nanlimo)

 

SungaiKuantan.Com Site Info


TopOfBlogs